SOSIALISASI PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH

Upaya untuk menyosialisasikan dan mengimplementasikan berbagai program pendidikan luar sekolah (PLS) membutuhkan waktu lama, minimal tiga tahun. Oleh karena itu, wajar saja jika masyarakat belum mengenal program PLS. Namun, akan menjadi persoalan besar bila yang tidak tahu program itu justru mereka yang ada di jajaran PLS itu sendiri.

Hal ini di ungkapkan Anggota Komisi VI Ferdiansyah ketika ditemui Kompas di Jakarta, akhir pekan lalu, menanggapi pengakuan Direktur Pendidikan Masyarakat Departemen Pendidikan Nasional Ekodjatmiko Sukarso yang mengatakan bahwa masyarakat masih banyak yang belum mengenal program PLS yang sesungguhnya.

“Anggap saja paradigama pendidikan mulai berubah sejak desentralisasi mulai diberlakukan dua tahun terakhir. Maka, konsep dan program PLS serta pendidikan pada umumnya baru disosialisasikan selama kurang dari dua tahun. Itu artinya, masih ada setahun lagi untuk melakukan evaluasi dan memantapkan konsep program PLS,” kata Ferdiansyah.

Menurut Ferdiansyah, apa yang diungkapkan Ekodjatmiko itu merupakan suatu kejujuran yang dibutuhkan untuk memperbaiki dunia pendidikan nasional. Untuk itu, Ferdiansyah mengingatkan, apa yang dibutuhkan jajaran PLS sekarang adalah segera melakukan berbagai perbaikan aturan, konsep PLS dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia jajaran PLS agar benar-benar siap berjuang untuk mengejar ketinggalan dalam mendukung program-program PLS. Selain itu, perlu dipikirkan sebuah sosialisasi yang menyeluruh.

Mengenai persoalan tidak tersosialisasinya program PLS di jajaran PLS dan unit pelaksana teknis (UPT) dengan baik, menurut Ferdiansyah, mungkin disebabkan tidak terlibatnya jajaran PLS tersebut dalam proses perumusan konsep dan program. Kemungkinan lain, orang yang duduk di jajaran PLS di daerah yang mengikuti sosialisasi diganti dengan orang baru yang belum menguasai secara baik tentang konsep PLS.

“Mungkin juga karena cara sosialisasinya kurang pas, sehingga masih menimbulkan pemahaman yang jauh berbeda,” ujarnya.

Secara umum, Ferdiansyah mengatakan, untuk melakukan sosialiasi PLS dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu terjun ke daerah-daerah secara langsung, dan mengundang jajaran PLS di daerah ke pusat atau region yang sudah ditentukan.

Manajemen sosialisasi

Kepala Balai Pengembangan Kegiatan Belajar (BPKB) Jawa Barat Ade Kusmiadi mengatakan, program PLS secara umum sebenarnya sudah banyak dikenal masyarakat. Seperti program kelompok belajar paket A, paket B, dan paket C. Hanya saja, masyarakat sekarang memang belum mengenal dengan baik kebijakan-kebijakan baru yang ada di PLS.

“Masalahnya terletak pada manajemen sosialisasinya serta waktu yang tidak pendek. Di jajaran PLS memang belum semua paham dengan baik pada kebijakan baru ini. Untuk itulah berbagai sosialisasi kebijakan baru ini perlu terus dilakukan,” ujarnya.

Mengenai kekakuan jajaran PLS di daerah dalam mengimplementasikan kebijakan PLS, menurut Ade, disebabkan penerapan kebijakan itu disertai dengan target-target warga belajar. Meskipun di buku petunjuk hanya disebutkan bahwa jumlah warga belajar maksimal dalam suatu kelompok belajar, namun seringkali diterjemahkan sebagai jumlah warga belajar yang harus dipenuhi untuk satu kelompok belajar.

“Selain itu, kekakuan pengajaran PLS yang cenderung mirip persekolahan lebih disebabkan karena adanya konsep kesetaraan PLS dengan persekolahan. Mulai mata pelajaran, jam persekolahan, cara mengajar, dan sebagainya. Akibatnya, konsep fleksibilitas PLS harus dilakukan sesuai kebutuhan jadi dibelakangkan. Padahal, fleksibilitas itu merupakan ciri utama PLS,” ujarnya.(MAM)

PLS di daerah dalam mengimplementasikan kebijakan PLS, menurut Ade, disebabkan penerapan kebijakan itu disertai dengan target-target warga belajar. Meskipun di buku petunjuk hanya disebutkan bahwa jumlah warga belajar maksimal dalam suatu kelompok belajar, namun seringkali diterjemahkan sebagai jumlah warga belajar yang harus dipenuhi untuk satu kelompok belajar.

“Selain itu, kekakuan pengajaran PLS yang cenderung mirip persekolahan lebih disebabkan karena adanya konsep kesetaraan PLS dengan persekolahan. Mulai mata pelajaran, jam persekolahan, cara mengajar, dan sebagainya. Akibatnya, konsep fleksibilitas PLS harus dilakukan sesuai kebutuhan jadi dibelakangkan. Padahal, fleksibilitas itu

Pos blog pertama

Ini adalah pos pertama Anda. Klik tautan Sunting untuk mengubah atau menghapusnya, atau mulai pos baru. Jika ingin, Anda dapat menggunakan pos ini untuk menjelaskan kepada pembaca mengenai alasan Anda memulai blog ini dan rencana Anda dengan blog ini. Jika Anda membutuhkan bantuan, bertanyalah kepada orang-orang yang ramah di forum dukungan.

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai